Ketuhanan Yang Ma[s]ha Esa[?]
Keyakinan pada Tuhan yang Esa adalah fondasi mendasar bagi bangsa kita. Saking elementalnya, dicantumkanlah prinsip tersebut sebagai sila pertama dari Pancasila. Buah-buah pengamalan yang ditumbuhkan dari sila tersebut antara lain adalah kerukunan umat beragama, tepa salira, toleransi, serta konsep-konsep cantik lainnya. Dalam percakapan sehari-hari kita dapat ‘membauinya’ pada kalimat-kalimat klasik seperti: “jalannya lain-lain tapi toh tujuannya satu” atau “cuma caranya saja yang beda-beda tapi Tuhannya satu”, dst. Namun, sama seringnya pula kita menemukan aneka kontradiksi yang menemani konsep-konsep cantik dan kalimat-kalimat bijak tadi.
Baru-baru ini saya diberi kesempatan untuk menonton pra-rilis satu film indie berjudul “Cin[T]a”. Sebuah film dengan premis dan tema yang menarik; bercerita tentang Tuhan, cinta, dan perbedaan. Di film itu kita menemui dilema yang banyak dialami orang-orang: hubungan cinta beda agama. Dilema yang akhirnya berujung pada pilihan: pilih pacar atau Tuhan?
Entah berapa banyak sudah hati manusia yang nelangsa akibat dilema klise itu; saat benang kusut itu mulai teraduk: mencintai pacar… tidak mau berpisah… tidak mau mengkhianati Tuhan… tapi kenapa harus ada cinta… bukannya cinta juga diciptakan Tuhan… tapi agama bilang tidak boleh menomorduakan Tuhan… tapi kan, katanya cara saja yang beda-beda tapi Tuhannya satu… dan benang itu terus mengusut. Belum lagi Tuhan jarang berdiri sendiri, Ia membawa institusi agama, orang tua, keluarga besar, adat istiadat, bahkan aturan pemerintah Indonesia yang melarang pernikahan beda agama.